Riba di Era Modern Antara Godaan Kredit dan Larangan Syariat
Font Terkecil
Font Terbesar
INDOLIN.ID | JAKARTA — Di tengah maraknya sistem keuangan modern, praktik riba kembali menjadi bahan diskusi hangat. Dari bank konvensional, pinjaman online (pinjol), hingga kredit produksi, kendaraan dan rumah, umat Islam dihadapkan pada persoalan pelik, bagaimana memenuhi kebutuhan hidup tanpa terjerumus pada riba yang jelas-jelas diharamkan dalam Al-Qur’an.
Tiga ulama besar Indonesia, Ustadz Abdul Somad, Buya Yahya, dan Ustadz Adi Hidayat, menyampaikan pandangan melalui kanal media online adalah dosa besar yang harus dihindari, meskipun kadang tersamarkan dalam bentuk akad dan istilah yang tampak sah secara hukum negara.
Dalam sebuah ceramahnya, Ustadz Abdul Somad menekankan bahwa pemakan riba akan mendapat hukuman berat di akhirat. Ia merujuk pada gambaran Al-Qur’an, di mana pelaku riba dibangkitkan dalam keadaan seperti orang kerasukan setan.
“Orang yang makan riba tidak akan pernah hidup tenang, Hartanya terlihat banyak, tetapi keberkahannya dicabut Allah,” jelas UAS.
Buya Yahya mengurai persoalan kredit yang sering menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat. Menurutnya, kredit tidak otomatis haram, melainkan tergantung pada akadnya.
“Kalau pinjam uang seratus juta, lalu harus mengembalikan seratus sepuluh juta, jelas itu riba. Tetapi kalau akadnya jual beli kredit, misalnya barang dibeli bank secara tunai lalu dijual ke nasabah dengan cicilan, itu diperbolehkan. Syaratnya harga tidak berubah setelah disepakati, dan tidak ada tambahan bunga di luar akad,” ujarnya.
Ustadz Adi Hidayat menambahkan analisis detail terkait praktik riba di bank konvensional maupun pinjaman online. Ia menegaskan bahwa setiap tambahan uang atas pokok pinjaman yang disyaratkan sejak awal termasuk dalam kategori riba.
“Bunga bank, pinjol, atau utang yang dipaksa dengan tambahan di luar pokoknya, semuanya masuk riba. Hati-hati, karena akad inilah yang menentukan halal-haramnya sebuah transaksi,” ungkapnya.
Larangan riba ditegaskan berulang kali dalam Al-Qur’an. Allah SWT berfirman:
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imran: 130)
“Maka jika kamu tidak meninggalkan sisa riba, maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.” (QS. Al-Baqarah: 279)
Ayat-ayat ini menunjukkan betapa tegasnya Islam dalam mengharamkan riba, bahkan menyebut bahwa Allah dan Rasul-Nya akan “memerangi” orang yang tetap melakukannya.
Muhamad Said, pengamat muda hukum bisnis mengemukakan, bahwa di era modern, kebutuhan masyarakat terhadap pembiayaan kredit semakin besar dari membeli rumah, kendaraan, hingga modal usaha. Namun tantangan terbesar adalah memastikan agar akad yang dilakukan tidak bertentangan dengan syariat. Lahirnya perbankan syariah dan lembaga keuangan mikro syariah menjadi salah satu jawaban, meski edukasi masyarakat masih terus diperlukan.pungkasnya
"Mereka para ulama berharap umat Islam tidak hanya tergiur dengan kemudahan finansial, tetapi juga mempertimbangkan aspek halal-haram. Sebab, keberkahan harta jauh lebih bernilai daripada sekadar angka yang terlihat besar di atas kertas."jawabnya
Menurut Muhamad Said, yang juga alumni GmnI, Riba di era modern bukan hanya masalah halal-haram dalam teks hukum ia juga soal kapasitas umat untuk memahami mekanisme ekonomi, merancang akad yang adil, dan menerapkan prinsip-prinsip praktis agar modal bergerak tanpa mengorbankan etika dan keberlanjutan sosial.
Ekonom Muda Marhaenis ini, mengingatkan satu pesan sentral hindari riba tapi lebih penting lagi, belajarlah cara mengelola keuangan yang halal, cerdas, dan berkelanjutan,tutup said. (sa/by)
