Bahlil - Pigai dan Timur Indonesia: Dua Cahaya dalam Satu Orbit Kebangsaan
Font Terkecil
Font Terbesar
Penulis: Yuwono Setyo Widagdo, S.Sos., MH
Pengamat Budaya Nusantara
Indonesia tidak dibangun dari satu arah, satu suara, atau satu cahaya. Sejak awal kemerdekaan, para pendiri bangsa memahami bahwa kekuatan Indonesia justru terletak pada kemampuannya menyatukan perbedaan dalam satu tujuan kebangsaan.
Timur adalah kunci Indonesia.
Bukan semata karena kekayaan alamnya, melainkan karena dalam dimensi sosio-politik, Timur berfungsi sebagai barometer keadilan negara. Di sanalah relasi antara negara dan warga diuji paling nyata: apakah kebijakan hadir sebagai perlindungan, atau justru menjelma menjadi jarak kekuasaan. Ketika Timur bersuara, sejatinya yang berbicara bukan pinggiran, melainkan inti dari demokrasi Indonesia itu sendiri.
Politik Indonesia tidak boleh terus terjebak dalam logika lama: pusat sebagai pemberi, daerah sebagai penerima. Timur menuntut reposisi yang lebih adil dari objek pembangunan menjadi subjek politik kebangsaan. Representasi, partisipasi, dan pengakuan identitas lokal bukan sekadar simbol afirmasi, melainkan fondasi stabilitas nasional jangka panjang.
Dalam konteks inilah, dialektika kepemimpinan dan representasi menemukan maknanya.
Jika Bahlil adalah matahari, ia melambangkan energi negara yang bekerja: pendekatan teknokratik-eksekutif yang mendorong pembangunan, memotong birokrasi, menggerakkan investasi, dan memastikan mesin negara tidak macet.
Jika Pigai adalah bulan, ia merepresentasikan politik moral suara nurani kebangsaan yang mengingatkan bahwa demokrasi bukan hanya soal mayoritas dan kekuasaan elektoral, melainkan keberanian negara mendengar suara yang paling jauh namun paling jujur.
Keduanya tidak berada dalam posisi saling meniadakan, melainkan bergerak dalam satu orbit yang sama: Indonesia Raya.
Di titik inilah terlihat dialektika sehat antara politik kekuasaan dan politik etika. Tanpa etika, kekuasaan menjadi dingin, eksklusif, dan berjarak dari rakyat. Tanpa kekuasaan, etika kehilangan daya transformasi dan berhenti sebagai wacana moral belaka.
Visi Indonesia Emas di bawah pemerintahan Prabowo–Gibran menuntut lebih dari sekadar pertumbuhan angka ekonomi. Ia menuntut keberanian menyatukan energi pembangunan dengan suara kebhinekaan, pusat dengan daerah, dan kekuasaan dengan tanggung jawab sosial. Demokrasi tidak boleh berhenti pada prosedur, tetapi harus menjelma menjadi demokrasi substantif yang dirasakan adil oleh seluruh warga negara.
Jika Timur terus dipinggirkan dalam arsitektur sosio-politik nasional, maka Indonesia Emas berisiko menjadi proyek elitis: maju secara statistik, tetapi rapuh secara sosial. Sebaliknya, jika Timur ditempatkan sebagai mitra setara dalam pengambilan keputusan, maka Indonesia tidak hanya tumbuh, tetapi matang sebagai bangsa.
Sebagaimana diajarkan Bung Karno, nasionalisme Indonesia bukan nasionalisme sempit, melainkan nasionalisme yang berjiwa kemanusiaan dan berakar pada keadilan sosial.
Di sanalah Timur kembali menjadi kunci bukan sebagai beban sejarah, melainkan sebagai penentu arah demokrasi dan keadilan sosial Indonesia.
Pada akhirnya, masa depan Indonesia tidak ditentukan oleh seberapa tinggi pusat berdiri, melainkan oleh seberapa kuat seluruh wilayah merasa diakui, dilibatkan, dan dilindungi. (*)
